• Sat, Jul 2025

MK Tegas: Ubah Rp1.000 Jadi Rp1 Bukan Sekadar Coret Angka

MK Tegas: Ubah Rp1.000 Jadi Rp1 Bukan Sekadar Coret Angka

Wacana redenominasi rupiah kembali menyeruak ke ruang publik. Gagasan untuk menyederhanakan nominal mata uang, seperti mengubah Rp1.000 menjadi Rp1, memang terdengar simpel.

Wacana redenominasi rupiah kembali menyeruak ke ruang publik. Gagasan untuk menyederhanakan nominal mata uang, seperti mengubah Rp1.000 menjadi Rp1, memang terdengar simpel. Namun, Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa proses tersebut tidak semudah mencoret tiga nol di atas kertas. Ada implikasi hukum, ekonomi, dan sosial yang harus dipertimbangkan secara matang.

Redenominasi Bukan Sekadar Operasi Matematika

Banyak pihak yang beranggapan bahwa redenominasi hanyalah bentuk efisiensi simbolik: mengurangi jumlah digit dalam harga dan transaksi tanpa memengaruhi daya beli. Namun, MK mengingatkan bahwa perubahan ini menyentuh struktur fundamental sistem keuangan nasional. Selain memerlukan regulasi teknis, langkah ini juga harus memiliki landasan hukum yang kuat agar tidak menimbulkan kekacauan di kemudian hari.

“Ubah nominal bukan cuma soal angka, tapi soal kepercayaan masyarakat terhadap nilai uang itu sendiri,” ujar seorang perwakilan MK.

Konstitusi dan Stabilitas Ekonomi Jadi Pertaruhan

Mahkamah Konstitusi melihat bahwa keputusan terkait redenominasi tidak bisa dilakukan secara sepihak oleh lembaga eksekutif atau bank sentral. Proses ini menyangkut pasal-pasal dalam konstitusi terkait keuangan negara, hak warga atas nilai tukar, dan kestabilan sistem moneter.

Jika perubahan nominal dilakukan secara terburu-buru, tanpa transparansi dan sosialisasi yang cukup, risiko terjadinya kebingungan di masyarakat hingga potensi inflasi psikologis bisa sangat tinggi.

Pelajaran dari Negara Lain

Beberapa negara seperti Turki, Zimbabwe, dan Rusia pernah melakukan redenominasi dengan berbagai tingkat keberhasilan. Dari situ dapat dipelajari bahwa keberhasilan redenominasi sangat bergantung pada stabilitas makroekonomi dan kesiapan institusi negara dalam mengelola transisi.

MK mengingatkan bahwa Indonesia tidak sedang berada dalam krisis hiperinflasi seperti beberapa negara yang terpaksa melakukan redenominasi secara drastis. Oleh karena itu, urgensi dan manfaat kebijakan ini perlu dikaji secara objektif dan terbuka.

Masyarakat Perlu Dilibatkan

Proses redenominasi, jika memang dianggap perlu, harus melibatkan masyarakat secara aktif. MK menekankan bahwa keterbukaan informasi dan literasi publik menjadi kunci keberhasilan kebijakan ini.

Tanpa pemahaman publik yang baik, perubahan ini justru bisa menimbulkan keresahan—misalnya kekhawatiran harga-harga akan “naik” karena digitnya mengecil, padahal secara nilai tidak berubah.


Wacana menyederhanakan mata uang dari Rp1.000 menjadi Rp1 bukanlah persoalan sepele. Mahkamah Konstitusi secara tegas mengingatkan bahwa langkah ini bukan hanya tentang teknis penghapusan angka nol, tapi menyangkut kepercayaan publik, sistem hukum, dan stabilitas ekonomi nasional.

Pemerintah, sebelum mengambil langkah lebih lanjut, harus mengedepankan kajian akademik, uji konstitusionalitas, dan dialog terbuka dengan seluruh elemen masyarakat.

Pak Vincent

Minta 2 nasi bungkus, saya satu sama k*ntl satu.